Kewirausahaan Sosial: Solusi Kemiskinan di Indonesia
Kondisi perekonomian nasional
dari tahun ke tahun terus menunjukkan peningkatan yang berarti. Bahkan,
di tengah laju perlambatan ekonomi ekonomi dunia, dan disaat negara
lain mengalami resesi ekonomi akibat krisis ekonomi global yang diawali
di Amerika Serikat dan menjalar ke Eropa, laju pertumbuhan ekonomi
Indonesia dalam kurun waktu 4 tahun terakhir terus berada di angka 6 %
per tahun.
Pertumbuhan ekonomi yang besar
tersebut, tidak lepas dari daya beli konsumsi dalam negeri yang besar
dan jumlah masyarakat berpenghasilan menengah yang semakin meningkat. Melalui
pendapatan masyarakat yang besar tersebut, tentunya menjadi potensi
tersendiri bagi para investor untuk menanamkan modalnya, maupun
masyarakat umum yang mulai banyak yang melirik peluang berusaha.
Saat ini, gaung untuk menjadi pengusaha telah menjadi tren di masyarakat. Enterpreneurship atau
kewirausahaan menjadi istilah yang seringkali didengar di kebanyakan
masyarakat Indonesia saat ini. Dampak positif dari menjamurnya enterpreneurship
adalah terciptanya lapangan kerja baru, meningkatnya pendapatan
masyarakat, dan meningkatnya daya saing. Berbagai usaha dan bisnis baru
bermunculan bak cendawan di musim hujan.
Namun demikian, persaingan bisnis
yang begitu ketat, membuat sebagian pengusaha mengabaikan nilai-nilai
sosial dan kemanusiaan. Pasalnya, angka pengangguran dan kemiskinan
masih terbilang tinggi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat. Jumlah pengangguran pada tahun 2012 mencapai 7,6 juta orang, dan Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2012 mencapai 29,13 juta orang (11,96 persen).
Melihat tren yang ada, tercipta
penurunan jumlah pengangguran dan jumlah penduduk miskin setiap
tahunnya. Namun demikian, penurunan yang terjadi berjalan lambat. Salah
satu penyebabnya adalah geliat kewirausahaan yang kurang memiliki
kebermanfaatan dan nilai sosial bagi masyarakat banyak. Kewirausahaan
yang berjalan selama ini hanya mampu menciptakan lapangan kerja dan
menciptakan hubungan dua arah (pengusaha dan pekerja). Masyarakat hanya
sekedar menjadi objek menjadi pelanggan atau konsumen.
Kewirausahaan Sosial Sebagai Sosial
Kewirausahaan sosial dinilai sebagai
solusi dalam upaya mempercepat penurunan angka pengangguran dan
kemiskinan. Hal ini tak lain karena kewirausahaan sosial menawarkan
kelebihan manfaat dari sekedar menciptakan lapangan kerja. Kewirausahaan
sosial memiliki kebermanfaatan yang luas karena wirausahawan bukan
hanya berhadapan kepada karyawan yang menjadi mitra kerja tetapi juga
masyarakat luas.
Kewirausahaan Sosial atau Social Enterpreneurship merupakan sebuah istilah turunan dari kewirausahaan. Orang yang bergerak di bidang kewirausahaan sosial disebut Social Entrepreneur. Santosa (2007) mendefinisikan Social enterpreneur sebagai seseorang yang mengerti permasalahan sosial dan menggunakan kemampuan kewirausahaan untuk melakukan perubahan sosial (social change), terutama meliputi bidang kesejahteraan (welfare), pendidikan dan kesehatan (education and health care).
Kewirausahaan sosial menitikberatkan
usahanya sejak awal dengan melibatkan masyarakat dengan memberdayakan
masyarakat kurang mampu secara finansial maupun keterampilan untuk
secara bersama-sama menggerakkan usahanya agar menghasilkan keuntungan,
dan kemudian hasil usaha atau keuntungannya dikembalikan kembali ke
masyarakat untuk meningkatkan pendapatannya. Melalui metode tersebut,
kewirausahaan sosial bukan hanya mampu menciptakan banyak lapangan
kerja, tetapi juga menciptakan multiplier effect untuk menggerakkan roda perekonomian, dan menciptakan kesejahteraan sosial.
Geliat Kewirausahaan Sosial
Seorang social enterpreneur
adalah seseorang yang cakap dalam melihat tantangan sebagai peluang,
melihat sampah menjadi uang, dan melihat masyarakat sebagai subjek bukan
objek dari usahanya. Masyarakat berperan sebagai mitra strategis
usahanya, bukan sekedar sebagai pelanggan atau konsumen. Pola yang
terjadi dalam kewirausahaan sosial adalah antara pengusaha – pekerja –
masyarakat. Ketiganya bersinergi dalam membentuk simbiosis mutualisme.
Dampaknya adalah kesejahteraan, keadilan sosial dan pemerataan
pendapatan.
Meski terbilang baru, namun geliat kewirausahaan sosial
kini sudah menjadi tren baru di kehidupan masyarakat global, tak
terkecuali di Indonesia. Penyebab kepopulerannya tak lain adalah
keberhasilan tokoh kewirausahaan sosial Muhammad Yunus menjadi pemenang
nobel perdamaian pada tahun 2006. Kepiawaiannya dalam mengelola Grameen
Bank dan memberdayakan masyarakat miskin di Bangladesh telah membuka
jutaan mata masyarakat global akan arti penting kewirausahaan sosial.
Muhammad Yunus dinilai mampu memberdayakan masyarakat miskin melalui
pinjaman tanpa jaminan. Yang dikembangkan Grameen bank adalah dengan
memberdayakan masyarakat kurang mampu secara finansial. Dampaknya,
ribuan tenaga kerja mampu terserap, dan jutaan lainnya merasakan dampak
tidak langsung sehingga terjadi multiplier effect ekonomi dengan tumbuhnya Usaha Kecil Menengah Baru (UKM).
Di Indonesia, kewirausahaan sosial dimotori oleh Bambang Ismawan, pendiri Yayasan Bina Swadaya. Bambang
Ismawan mendirikan sebuah yayasan yang semula bernama Yayasan Sosial
Tani Membangun bersama I Sayogo dan Ir Suradiman tahun 1967. Upaya yang
dilakukannya melalui pemberdayaan masyarakat miskin melalui kegiatan
micro finance (keuangan mikro) dan micro enterprise (usaha mikro) dengan
mengutamakan pendidikan anggota, memupuk kemampuan diri dan sosial.
Kiprah Yayasan Bina Swadaya yang sudah berdiri lebih dari 40 tahun tidak
diragukan lagi.
Selain Yayasan Bina Swadaya, ada banyak organisasi atau perseorangan yang memiliki concern di bidang kewirausahaan sosial seperti; Erie Sudewo, dkk (Dompet Dhuafa), Tri
Mumpuni, dkk (IBEKA), Rhenald Kasali, dkk (Rumah Perubahan), Septi
Peni Wulandani, dkk (Sinergi Kreatif), dan Yovita, dkk (Nalacity
Foundation). Kesemuanya memiliki concern di bidang kewirausahaan sosial
masing-masing dengan memberdayakan masyarakat melalui optimalisasi
potensi lokal masyarakat yang diberdayakan.
Sebagai contoh Nalacity Foundation
yang merupakan organisasi kewirausahaan sosial yang didirikan sebagai
bentuk kepedulian kepada kaum marjinal ibu-ibu mantan penderita kusta di
Sitanala, Tangerang. Nalacity memberdayakan masyarakat yang
termarjinalkan tersebut untuk bisa menghasilkan kerajinan tangan berupa
jilbab. Produknya akan dijual di Jakarta, dan keuntungan yang diperoleh
akan digunakan kembali untuk meningkatkan pendapatan masyarakat di
Sitanala. Multiplier effect pun terjadi, ibu-ibu yang menjadi
penerima manfaat program dari Nalacity ini meningkat pendapatannya.
Merekapun bisa menghidupi keluarganya. Bahkan, kini mereka dapat
menabung untuk memiliki usaha lainnya seperti; pertanian, peternakan,
dan bisnis lainnya.
Chief Executive Officer (CEO)
Nalacity Foundation Yovita Salysa Aulia mengatakan, jika menjadi
pengusaha itu idaman banyak orang, akan lebih bijaksana jika usaha yang
ditekuni dapat berdampak luas manfaatnya untuk masyarakat. Disitulah
letak terpenting manfaat dari kewirausahaan sosial, karena kewirausahaan
sosial bukan hanya sekedar mempekerjakan, tetapi memberdayakan.
Mengingat pentingnya kewirausahaan
sosial, diharapkan dapat ditingkatkan kembali secara kuantitas maupun
kualitas pengembangannya. Seiring makin bertambahnya perseorangan yang
menjadi social enterpreneur, diharapkan kiprah kewirausahaan
sosial dalam menurunkan angka pengangguran dan kemiskinan, menciptakan
kesejahteraan dan keadilan sosial dapat meningkat.
0 komentar:
Posting Komentar